Mixtape #1: 5 Lagu yang cocok diputar ketika Anda merasa muak dengan kehidupan kota

Pernahkah anda di satu waktu merasa geram terhadap kehidupan kota? Entah itu karena alasan kebosanan terhadap kehidupan repetitif yang ekstrim, entah karena gaji pokok bulanan yang tidak bisa menyokong laku konsumtif kita, entah karena alasan pernah dicampakkan dengan lawan jenis, entah juga karena alasan-alasan lain yang subjektif. Kalau anda menjawab tidak pernah, maka bisa saya pastikan anda berbakat dalam urusan berbohong dan berpura-pura.

Kota adalah suatu monumen agung yang akan menemukan keagungannya melalui penindasan terhadap masyarakatnya. Penjelasan semiotik tersebut saya dapat ketika membaca buku Ismail Kadare, Piramid. Penindasan itu beragam bentuknya. Seperti dijelaskan dalam Piramid, penindasan bisa berwujud kerja eksploitatif yang masih banyak menimpa masyarakat, bisa berwujud peraturan-peraturan absurd dari rezim penguasa, dan bisa juga mewujud melalui napas kematian yang bisa hadir kapanpun. Bagaimanapun, kota memang kejam dan kita harus menghadapi kenyataan tersebut. Oleh karena itu, yang bisa kita lakukan sekarang hanya ada 2. Mengutuki situasi yang jelas hanya buang-buang nafas atau menjadi apatis dan acuh lalu hanya menjalani saja rutinitas sialan ini, sambil berharap keberuntungan selalu menyertai kita.

Hal tersebut  menginspirasi saya untuk membuat sebuah mixtape berisi 5 lagu yang bisa membantu kita untuk sedikit merasa baik-baik saja ditengah carut marutnya kehidupan kota dan agar tidak melulu sambat mengeluarkan sumpah serapah sia-sia yang bisa memperpendek usia. Silahkan.

  1. Ode Buat Kota (Bangkutaman, Ode Buat Kota, 2010)

Membicarakan kota dan carut marutnya adalah sebaik-baiknya yang bisa kita lakukan dalam kapasitas kita sebagai masyarakat. Dan menyuarakan kegelisahan dan unek-unek kita dengan sebuah lagu adalah salah satu cara yang cukup keren.

Barangkali motivasi itu yang membuat personel Bangkutaman menggubah lagu ini. Ode buat kota bukan hanya celotehan iseng dan unek-unek asal-asalan. Lebih dari itu, lagu ini adalah representasi bagi mereka yang tidak tahu bagaimana ekspresi yang tepat untuk menyuarakan kegelisahan sebagai golongan urban.

Perhatikan lirik awal dalam lagu, “‘tuk suara bising di tiap jalan/‘tuk suara kaki yang berlalu lalang/‘tuk suara sirine raja jalanan/‘tuk suara sumbang yang terus berdentang”.

Penggalan lirik tersebut bisa membuat kita merasa menjadi pakar kota. Tanpa perlu berbusa menyuarakan aspirasi lewat debat kusir dengan teman-teman di warung kopi atau mengalami jari kapalankarena sibuk membuat thread twitter tentang masalah kota. Kita sudah menemukan masalah dan bagaimana jawaban kita atas masalah itu sambil merapal, “Dibawah jembatan ku bernyanyi riang/na na na na na na na.na”.

  1. Malam Jatuh di Surabaya (Silampukau, Dosa, Kota & Kenangan, 2015)

Saya mempunyai keterikatan berlebih dengan lagu satu ini. Jika kalian merasa bahwa nomor terbaik dari debut album kolektif musik asal Surabaya ini adalah judul lain selain lagu ini, maka mungkin kita perlu diskusi dan duduk sambil ngopi. Tanpa berusaha menjadi snob. Saya menyarankan anda mendengar lagu ini ketika pulang kerja dan terjebak pawai kendaraan bermotor.

Meskipun lagu ini terlalu menonjolkan identitas kota Surabaya. Yang ditunjukkan dengan lirik, “Gelanggang ganas/lima lima belas/di Ahmad Yani yang beringas”. Jl. Ahmad Yani di Surabaya, untuk kalian yang belum tahu adalah jalur paling brengsek di Surabaya. Tapi terlepas dari itu, sesungguhnya lagu ini bisa menembus batas-batas wilayah. Selama ada kemacetan dan hiruk pikuk riuh paska bubaran kerja dimanapun.

Lagu ini mempunyai melodi syahdu dan lirik yang cukup relevan untuk media kontemplasi kita selagi terjebak dalam kemacetan. Seolah-olah, memaksa kita untuk bertanya. Bagaimana kita merasa waktu kita habis di jalan, bagaimana eksistensi Tuhan yang mewujud dalam ajakan beribadah yang senantiasa kalah dengan barbarnya klakson kendaraan, dan bagaimana relasi abadi kita dengan jalanan yang kerap kita maki tapi selalu kita lewati dalam usaha kita mengais rejeki.

  1. Renovasi Otak (Dialog Dini Hari, Beranda Taman Hati, 2009)

Hidup di kota adalah suatu “malapetaka yang manis”. Kita bahkan tidak sadar kalau ternyata hidup kita terlampau menderita, bahkan sekarang kita tereduksi ke level yang sama seperti mesin. Sama-sama menjalankan aktifitas yang sangat repetitif laiknya mesin. Oleh karenanya, kita menjadi gagap mendefinisikan hakikat kemanusiaan kita. Pikiran kita bahkan arti penting kemanusiaan kita di konstruksi sedemikian rupa menjadi hanya satu sudut pandang saja : Uang.

Lagu ini adalah penggambaran apik tentang laku otokritik yang bisa kita terapkan dalam eksistensi kita selama hidup di kota. Terutama sekali ketika kita berada pada titik depresif yang seringkali mengintai masyarakat di sudut-sudut kota.

Usaha-usaha untuk lepas dari perspektif tunggal itu dijelaskan dalam lirik, “Perlu sedikit renovasi otak/biar tak terkotak-kotak/Seperti TV atau bak mandi/Seperti baju ini”.

Dan untuk mengalahkan satu musuh besar bernama penyeragaman ide, yang kita butuhkan adalah adaptasi. Seperti tercermin dalam lirik, “Adaptasi perilaku biar tak kaku/walau dipukul ditendang biar tak malu/kalau memang tak tahu”.

Begitulah, usaha-usaha kecil yang direkam oleh Dialog Dini Hari. Lagu ini adalah bentuk perlawanan terhadap pseudo eksistensi manusia di kota. Silahkan didengar.

  1. Morning Glory (Tatsuro Yamashita, For You, 1982)

Definisi pagi yang paling hakiki menurut Leo Tolstoy adalah ketika menyantap kudapan sembari minum teh di beranda lantas mendengarkan musik klasik. Sampai sebelum saya kerja, definisi pagi itu saya maknai dalam-dalam. Meskipun saya mengganti teh dengan kopi, kudapan dengan sigaret filter tapi musik adalah unsur yang tidak pernah lepas dalam menikmati pagi. Ritus tersebut kini perlahan menjadi histori. Tidak bisa lagi saya lakukan secara rutin.

Lagu ini membantu mengingat lagi makna pagi hari yang santai itu. Pagi yang belum terkontaminasi dengan ruwetnya usaha kita untuk bangun pagi dan buru-buru pergi ke kantor demi mengejar batas minimum jam keterlambatan masuk kerja. Dan meski kenikmatan itu terenggut. Setidaknya Tatsuro Yamashita ada untuk mengingatkan dengan suara dan lagunya ini. Bahwasanya pagi tidak akan pernah berubah. Pagi tetap adalah waktu ketika manusia seharusnya menjadi manusia.

  1. Welcome To The Jungle (Guns ‘n Roses, Appetite for Destruction, 1987)

Syahdan pada suatu hari, saya pernah berbincang dengan seorang pedagang bakso Malang di Jakarta yang berasal dari Surabaya, yang cukup girang ketika tahu saya dari Surabaya juga (romantisisme kedaerahan?). Terlepas dari rasa baksonya,hal yang saya ingat adalah ketika beliau berbicara, “kota adalah hutan belantara, siapa yang kuat dia yang bertahan hidup”. Sampai di titik ini, pernyataan Nietszche, filsuf nihilisme tentang “survival of the fittest”, menemukan pembenarannya lewat sebuah kata-kata dari pedagang bakso, golongan kelas tiga di suatu negara dunia ketiga.

Paska pertemuan random tersebut, saya pulang dan memutar nomor Welcome to The Jungle milik Gun ‘N Roses. Kali ini saya mendengar dengan  khidmat untuk meresapi kedalaman liriknya. Sampai akhirnya saya sepakat dengan sang pedagang bakso. Kota besar adalah sama liarnya dengan hutan belantara. Kurang lebih begitulah makna yang berusaha disampaikan dalam lagu ini. Menyamakan kota dengan hutan kerap sekali kita dengar. Entah melalui obrolan jenaka bapak-bapak kompleks di Pos Ronda ataupun melalui pernyataan hyper literate para penguasa. Dan lagu ini yang menurut saya benar-benar jitu menggambarkan analogi antara kota dan hutan.

You know where you are? You are in the jungle, baby. You’re gonna die…”. Hantaman telak lagu ini lewat suara Axl Rose seolah menyadarkan kita bahwa kapanpun kota akan melahap harapan dan impian kita.

One thought on “Mixtape #1: 5 Lagu yang cocok diputar ketika Anda merasa muak dengan kehidupan kota

  1. Bagus tulisannya coy, ungkapan ketidak nyamanan kebanyakan kaum pekerja di kota.
    Idenya juga keren, salah satu bentuk peredam rasa sambat asunya perkotaan melalui lagu. Akeh sih bentuk peredam rasa sambat, tiap segmen masyarakat punya cara beragam. Tapi mendengarkan musik menyentuh semua segmen masyarakat itu aku pikir.
    Tapi carut marutnya kehidupan kota besar sekarang kan sebuah keniscayaan coy, seolah sunnatullah yang hanya bisa dijalani dengah seolah baik-baik saja, karena kalo dirasa terlalu nestapa bikin sesak di dada hahaha.
    Sampai ketemu di warung kopi, lebih enak diomongkan sambil makan indomie hahaha.

    Like

Leave a comment