#DIGGINGS: August 2021

Penghujung bulan Agustus tinggal seminggu lagi. Hampir mencapai titik henti yang ditunggu-tunggu semua hamba sistem ekonomi kapital cum manusia modern. Gajian. Sebelum menuju euforia semu itu, saya justru “melawan arus” kebiasaan orang-orang yang mengencangkan erat-erat kantong di tanggal tua, dengan menambah koleksi rilisan fisik, tentu dengan tabungan yang saya upayakan terus ada untuk menambah koleksi.

Bulan Agustus terasa surreal karena penemuan beberapa plat incaran dengan harga yang terasa wajar dan pas dengan kocek. Di tengah kepungan pandemi, aktivitas berburu plat melalui kanal digital sebenarnya adalah sebuah seni window shopping dengan penyesuaian zaman yang justru makin mematikan bagi tabungan saya yang sangat medioker. Setelah merapikan katalog koleksi di situs Discogs, saya tergiur untuk menyelami beberapa plat yang saya incar, mulai dari album Club 8 dalam format LP yang mistis, The Friend I Once Had yang peredarannya bahkan di Discogs sangat sepi dan tidak ada penjualnya. Album Cloud Taste Metallic-nya The Flaming Lips yang versi reissue-nya dibandrol di atas rata-rata harga plat reissue. Album kompilasi NME C86 yang berisi nomor-nomor legendaris dari band alternative, indie rock dan indie pop di penghujung dekade 1980. Serta banyak lagi album yang akhirnya masuk ke katalog wantlist (fitur canggih era perdagangan bebas yang akhirnya membuat kita sulit lepas dari jerat konsumerisme dan hasrat kebendaan).

Continue reading “#DIGGINGS: August 2021”

Mixtape #2: Ignorance Is a Bliss

Diari Korona saya sudah lama tidak diteruskan. Pun, aktivitas untuk merekam apapun yang bisa direkam selama “kiamat” ini tampak sudah tidak asyik lagi dilakukan. kelelahan korona (bahasa kerennya Corona fatigue~) sepertinya sudah tidak bisa dihindarkan dan tidak bisa lagi terus-terusan berpura-pura tegar dan kuat, karena buat apa sodara-sodara?. Sialan. Di tengah upaya mengais-ngais motivasi, menjaga kewarasan dan tidak terjebak dalam opera oxymoron (vaksin vs non-vaksin, konspirasi 101, dll yang jelas-jelas memperunyam kondisi), saya menemukan tiga aktivitas mengasyikkan sebagai pijar motivasi.

Continue reading “Mixtape #2: Ignorance Is a Bliss”

Setelah Digital. Masihkah Mixtape Relevan?

“Without music life would be a mistake”. Nukilan legendaris ini muncul dari mulut seorang filsuf era abad ke 19, Frederich Nietzsche. Permenungan Nietzsche dalam memaknai musik sedikit mengejutkan mengingat preferensi filsafat dia adalah nihilisme yang berusaha untuk tidak mengakui tatanan apapun termasuk budaya seni yang sudah mapan di dunia. Namun, apapun itu, perkataan dia terhadap pengaruh musik bagi kehidupan manusia sangatlah relevan. Musik sebagai sebuah produksi budaya mempunyai andil yang cukup besar terhadap manusia. Bukan hanya menciptakan rasa bahagia dan sedih dengan menstimulasi syaraf otak, tidak jarang pada individu-individu tertentu, musik bisa menciptakan sebuah pengalaman transendental. Musik juga mampu mendefinisikan sebuah generasi dan juga memicu revolusi pemerintahan sebagaimana yang pernah terjadi di Ceko. Dan yang paling jamak terjadi, musik juga bahkan bisa menjembatani hubungan romantik yang tak jarang berakhir indah. Pada intinya, menikmati musik seperti dikatakan Nietzsche, tidak pernah salah dan sia-sia.

Continue reading “Setelah Digital. Masihkah Mixtape Relevan?”

Fatum Brutum Amer Lagi!!

Slogan di atas tidak bermaksud mengejek Nietszche sama sekali. Tidak. Tapi, slogan di atas saya modifikasi sedemikian rupa dengan mempertimbangkan konstekstualitas subyektif. Ungkapan asli Fatum Brutum Amor Fati kurang lebih berarti “Mencintai takdir walau hidup begitu sulit”, merupakan ungkapan sempurna untuk para pecundang atau istilah post modern-nya adalah sad boi. Setelah dirubah terjemahan kasarnya kurang lebih, “Amer lagi meskipun hidup terlampau sukar”.

Ketika pernyataan tersebut pertama kali dituliskan dalam bukunya, Ecce Homo, Nietszche mungkin sadar akan kegamangan yang terus mengintai manusia, terkhusus manusia-manusia yang menemukan kesadaran bahwa dunia tidak selalu berputar mengelilinginya. “Manusia-manusia tercerahkan” tersebut akan sadar dan diajak olehnya untuk menertawakan, menemani atau mungkin memeluk nasib sial tersebut.

Continue reading “Fatum Brutum Amer Lagi!!”

Suikoden, Romantisme Gim Masa Kecil

Syahdan, ketika saya berusia 10 tahun, saya diajak mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan electronic di Surabaya oleh almarhum kakek. Saya masih ingat, nama tempat itu adalah Tunjungan Center atau orang-orang di Surabaya biasa menyebut Siola. Almarhum kakek saya, seperti lazimnya seorang kakek yang sering memanjakan cucunya, membelikan saya sebuah mesin konsol gim yang sangat populer kala itu yakni, Playstation One.

Continue reading “Suikoden, Romantisme Gim Masa Kecil”

Perihal Nick Drake dan Bagaimana Menghapus Sebuah Mitos

Suatu ketika di bulan Mei, saya bertemu secara tidak sengaja dengan seorang kawan ketika pulang ke Surabaya. Kawan satu ini mempunyai pengetahuan sangat luas baik dalam ranah akademis maupun pop culture. Sebagaimana lazimnya seorang kawan yang telah lama tidak bersua, percakapan diawali dengan pertanyaan retoris tentang kiprah paska kuliah (pekerjaan) dan urusan asmara. Hingga saya coba memancing obrolan mengenai skena musik Indonesia di tahun 2017. Dengan semangat, saya memberikan pandangan tentang album perdana Barefood, Milkbox, yang saya anggap sebagai album paling bersinar di tahun 2017. Kawan saya tanpa berusaha untuk menginterupsi saya, mengangguk terus hingga saya selesai bicara lantas menumpali. Dia kurang setuju dengan penyematan label album terbaik untuk Barefood, karena menurut dia album paling penting tahun ini jatuh kepada proyek solo vokalis Sigmun, Haikal Azizi yang memakai nama Bin Idris.

Continue reading “Perihal Nick Drake dan Bagaimana Menghapus Sebuah Mitos”

#DIGGINGS: October 2017

Bulan Oktober di kalender 2017. Itu artinya sudah 3 bulan semenjak saya resign dari kantor lama saya yang memberi saya sumber daya untuk menghidupi hobi mahal saya, mengoleksi rilisan fisik. Terhitung semenjak itu, saya benar-benar absen membeli rilisan fisik dan alasannya murni karena kekurangan uang. Tetapi, pada minggu ketiga di bulan Oktober, teman saya yang bekerja di Bandung sekonyong-konyong minta untuk ditemani digging plat di Jakarta. Saya terkesiap, karena saya jelas-jelas tidak bisa diam melihat plat tanpa membeli, sementara itu saya masih dilematis karena belum memiliki penghasilan yang tetap. Saya cek lagi rekening saya yang makin lama makin memprihatinkan (saya harus berpikir ulang untuk mulai mencicil rumah dalam waktu dekat ini) dan memutuskan untuk menyisihkan lagi sebagian untuk memenuhi hasrat kebendaan saya. Dan berikut adalah plat yang berhasil saya boyong, dengan bujet minimalis.Continue reading “#DIGGINGS: October 2017”

Mixtape #1: 5 Lagu yang cocok diputar ketika Anda merasa muak dengan kehidupan kota

Pernahkah anda di satu waktu merasa geram terhadap kehidupan kota? Entah itu karena alasan kebosanan terhadap kehidupan repetitif yang ekstrim, entah karena gaji pokok bulanan yang tidak bisa menyokong laku konsumtif kita, entah karena alasan pernah dicampakkan dengan lawan jenis, entah juga karena alasan-alasan lain yang subjektif. Kalau anda menjawab tidak pernah, maka bisa saya pastikan anda berbakat dalam urusan berbohong dan berpura-pura.Continue reading “Mixtape #1: 5 Lagu yang cocok diputar ketika Anda merasa muak dengan kehidupan kota”