Fatum Brutum Amer Lagi!!

Slogan di atas tidak bermaksud mengejek Nietszche sama sekali. Tidak. Tapi, slogan di atas saya modifikasi sedemikian rupa dengan mempertimbangkan konstekstualitas subyektif. Ungkapan asli Fatum Brutum Amor Fati kurang lebih berarti “Mencintai takdir walau hidup begitu sulit”, merupakan ungkapan sempurna untuk para pecundang atau istilah post modern-nya adalah sad boi. Setelah dirubah terjemahan kasarnya kurang lebih, “Amer lagi meskipun hidup terlampau sukar”.

Ketika pernyataan tersebut pertama kali dituliskan dalam bukunya, Ecce Homo, Nietszche mungkin sadar akan kegamangan yang terus mengintai manusia, terkhusus manusia-manusia yang menemukan kesadaran bahwa dunia tidak selalu berputar mengelilinginya. “Manusia-manusia tercerahkan” tersebut akan sadar dan diajak olehnya untuk menertawakan, menemani atau mungkin memeluk nasib sial tersebut.

Barangkali itulah esensi American Football. Dijuluki oleh Pitchfork sebagai Patron saint of Emo, mereka jelas adalah kawan bagi para pecundang yang patah dan menjadi melankolis. Band yang menurut saya adalah pengejawantahan paling mumpuni dari semangat Nietszche dalam mencintai takdir yang kurang begitu baik. Band yang sinonim dengan sebuah kegalauan, angst dan juga self demotivation. Setelah sempat hiatus selama 14 tahun, Band yang berasal dari Illinois ini menelurkan kembali album penuh bertajuk LP3 yang dengan rilisnya membawa band itu mengunjungi Indonesia pada hari ini.

***

Saya tidak berekspektasi apapun ketika tahu bahwa pada bulan Mei American Football akan menyambangi Singapore pada tanggal 4 Agustus 2019. Kehidupan berjalan normal bagi saya dan rencana tabungan KPR saya. Namun, siapa sangka pada tanggal 19 Mei 2019, sebuah promotor dari Indonesia berhasil meyakinkan Band ini untuk singgah ke Indonesia setelah konser mereka di Singapore. Diliputi euforia dan juga kesedihan di waktu yang sama (ambivalensi ini terjadi ketika saya memikirkan tabungan KPR, yasalam), saya membeli tiket pertunjukan untuk tanggal 5 Agustus 2019 di Jakarta.

Singkat cerita, 3 bulan penantian, saya mengakumulasi segala kesedihan dan angst untuk terlihat relevan ketika menghadiri konser mereka. Kesedihan yang terbaru adalah berita kematian seorang saudara, tepat sehari sebelum konser. Kesedihan lainnya bervariasi, mulai dari kemampuan sosial yang terus menurun, permasalahan pelik HAM yang tak kunjung selesai, berengseknya aparatur-aparatur negara di semua lini, makin memudarnya kemanusiaan dan janji Tuhan yang mbeleset melulu. Bekal itu, gumam saya kala itu, akan menjadi sebuah amunisi sempurna untuk mengakhirinya bersamaan dengan lengkingan suara Mike Kinsella.

Saya menapaki jalan menuju tempat konser bak seorang peziarah Betlehem yang berjalan kaki bersama beberapa peziarah lain untuk mendekatkan diri menuju revelasi ilahiah. Saya setel berkali-kali album terbaru mereka sebelum menukar tiket sembari merokok, dan ketika siap, saya melangkah menuju sisi panggung dengan amunisi yang cukup mumpuni pikir saya.

Konser dimulai lebih lambat dari jadwal, namun tidak sedikitpun membuat saya marah. Justru setiap tepuk tangan penonton lainnya yang mengira mereka akan masuk (padahal sound man) membuat saya memikirkan lagi kesiapan dan iman saya. tepat pukul 21.17, satu persatu personel masuk. Tanpa sambutan dan juga basa-basi serta gimmick murahan, mereka langsung memainkan lagu pembuka di LP3, Silhouettes.

Saya coba mengurangi sentuhan saya terhadap  gawai selama pertunjukkan berlangsung (hanya merekam video pendek berdurasi 45 detik ketika Uncomfortably Numb dan 25 detik ketika lagu Never Meant dinyanyikan, serta memotret kurang lebih 5 foto) untuk merasakan atmosfer dan khidmatnya suasana kesedihan masal tersebut. Total 12 lagu dibawakan (semuanya nomor yang cukup terkenal diambil dari album debut, LP2 dan LP3) dan kurang lebih 40 menit dirundung sentimentalitas. Saya bahkan gemetar dan menahan tangis ketika mengucap, “If you’re still prone to accidents and misunderstandings, You won’t understand me or my motivation for being alone (dari lagu I’ll See You When We’re Both Not So Emotional) dan “I blame my father in my youth and as a father I blame the booze (Uncomfortably Numb). Magis!!

Ketika rombongan sirkus Illionois itu bubar, saya melangkah keluar bak Zarathustra yang berucap, “Lihatlah! Aku sudah penuh melimpah-limpah oleh kearifanku, laksana kumbang, yang terlalu banyak mengumpulkan madu, aku memerlukan tangan terulur yang hendak menerimanya”. Terima kasih, Amfot!! Setelahnya, saya akan cari hari untuk berburu Amer dan dengannya saya akan menemani dan memeluk nasib saya, sejelek dan sebrengsek apapun itu.

Leave a comment